Rabu, 13 Juni 2012

TARIKH TASYRI'


KATA PENGANTAR

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Segala Puji kami ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya kepada kita semua, yaitu indahnya nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang berjudul "Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Pasca Kejumudan dan Realisasi Hukum Islam". Tidak lupa pula shalawat beriring salam kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW serta para sahabatnya yang telah membawa kita pada alam dunia yang penuh dengan ilmu pengetahuan yang kita rasakan saat ini.       
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah berperan membantu kami dalam penyusunan makalah ini, demi tercapainya sebuah kesempurnaan. Namun kami menyadari bahwa makalah yang telah kami susun ini tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan dari makalah ini selanjutnya.
Kami mengharapkan agar makalah yang kamim susun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.


Tembilahan,  Oktober 2011


Penulis
PEMBAHASAN
Pembaharuan Pemikiran Hukum Islam Pasca Kejumudan dan Realisasi Hukum Islam


A.    Pengertian Pembaharuan Hukum Islam
Pembaharuan atau lebih populer dikenal dengan nama modernisasi, dalam Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham adat istiadat, institusi-institusi lama dan untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkn oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Gerakan pembaharuan ini terjadi di beberapa wilayah. Diantaranya adalah Mesir, Turki, India dan Pakistan. Akan tetapi yang pertama adaah di Mesir. Berwal dari Kepergian tentara Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir (1801), yang kemudian dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk mengambil alih pemerintahan Mesir. Selanjutnya berbagai gerakan-gerakan pembaharuan yang dimulai dari menerjemahkan beberapa buku dari Barat dan mengirimkan beberapa pelajar ke Barat. Memotivasi beberapa pemikir islam dari daerah lain untuk memulai pembaharuan.
Beberapa diantaranya adalah, jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M), beserta muridnya Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1849-1905 M).[2] Periodesasi pembaharuan hukum islam ini kemudian melahirkan beberapa aliran-aliran. Seperti mazhab tradisionalis, liberalisme sskpitualisme, dan sebagainya.

B.     Mazhab Liberalisme
1.      Definisi Mazhab Liberalisme
Kata liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti bersifat bebas atau berpandangan luas dan isme yang berarti suatu faham. Dalam kamus popular dijelaskan bahwa liberalisme adalah suatu faham yang memperjuangkan kebebasan individu (warga negara) atau partikelir seluas-luasnya.[3]
Jadi, tujuan utama pendekatan kaum liberalis adalah memahami wahyu secara teks dan konteks. Hubungan antara teks wahyu dalam masyarakat modern tidak tergantung pada suatu penafsiran secara literalis tetapi lebih kepada penafsiran terhadap semangat dan tujuan yang ada di balik bahasa khusus dari teks-teks wahyu. Aliran ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema umum Islam, Maqashid Syari'ah dan sebagainya.[4]

2.      Sejarah Mazhab Liberalisme
Islam liberal muncul diantara gerakan-gerakan revivalis pada abad ke-18, masa yang subur bagi perdebatan keislaman. Secara politis, saat itu dinasti-dinasti besar islam di lembah sungai Mediterania (Kerajaan Turki Utsmani). Asia barat Daya (Dinasti Safawi), dan asia Selatan (Dinasti Mongol) berada pada masa-masa reruntuh.
Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada mazhab ahl-al-ra’y di kalangan para sahabat Nabi. Fiqih al-ra’y sebenarnya sejajar denagn tafsir al-Qur’an bi al dirayah, tapi kaum liberalis modern justru mengambil sejarah ijtihad bi al-ra’y.[5]

3.      Pokok-Pokok Pemikiran Madzhab Liberalisme.
Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook, menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi; (3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal.
Secara ringkas pokok-pokok mazhab liberalisme adalah Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur'an. Kedua, mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri’al-ahkam dan memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta'aqquli. Keempat, melepaskan diri dari masalikul'illah lama dan mengembangkan perumusan 'illat hukum yang baru.[6]  

C.    Mazhab Skriptualisme
1.      Definisi Skripturalisme
Adalah suatu mazhab yang merupakan kebalikan dari liberal, yaitu suatu mazhab yang bepegang kepada teks-teks syari’at secara kaku. Oleh Arkoun aliran ini disebut logosentrisme. Amin Abdullah mengatakan bahwa paradigma yang diangkat kaum skrpturalisme ini adalah paradigma literalistic dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang teks berbahasa arab, baik grammar maupun sintaksinya dan mengabaikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal.

2.      Latar Belakang Skripturalisme
Seperti diketahui dalam fiqh tabi'in, ada dua aliran besar dalam fiqh Islam: ahl al-Ra'y dan ahl al-Hadits. Yang pertama menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Dan yang kedua berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak penggunaan rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua ekstrim itu. Yang paling dekat dengan ahl al-ra'y adalah madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl al-hadits adalah mazhab Hanbali.
Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh. Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi fiqhnya selalu merujuk pada nash-nash al-Qur'an atau hadits.
Karena itu, tugas ahli fiqh hanyalah mencari nash yang relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama sekali pada Daud al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak ta'wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur'an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.

3.      Kegagalan Skripturalisme
Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur'an dan hadits cukup untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Ada beberapa kegagalan skripturalisme.tiga diantaranya adalah, Pertama, dalam aqidah. Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur'an dan hadits dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk di atas 'arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta'wil, mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi gersang.
Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat.Praktek-praktek keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash, dianggap bid'ah. Selanjutnya, yang disebut bid'ah adalah apa saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya
Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain akan dianggap menyimpang dari al-Qur'an dan sunnah. Dalam skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang wawasannya sempit, tapi merasa faqih.
Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih relevan dan signifikan.[7]
D.    Filosofi Pembaharuan Hukum Islam
Hukum islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama yang penting dalam ranah kehidupan seorang muslim. Joseph Schach mengatakan “ Hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran manifestasi paling tipikal dari cara hidup Muslim, dan meupakan inti dan saripati Islam itu sendiri”.
Studi Hukum islam merupakan cabang ilmu tertua, dimana Sistemasi Hukum Islam tersebut menjadi suatu kumpulan masalah dan subyek kajian. Pertama pada masa Tabi’in, pada masa ini kajian-kajian tersebut terfokus pada pendekatan atomistik dan tekstual. Kedua, pada masa asy-Syafi’I (w. 204/802). Pada masa ini dimulai penegmbangan ilmu syai’ah sesungguhnya, dimana pada masa ini asy-Syafi’I menggarap metodologi hukum islam dalam karyanya ar-Risalah.
Selanjutnya pada periode yang ketiga adalah al-Ghazali (w. 505/1111) pada zaman pertengahan yang dicatat sebagai orang yang telah melakukan upaya pengembangan ilmu hukum islam sumbangan pokok Al-Ghozali diantaranya adalah, (1) memeperkenalkan dan memepertegas penerapan metode induksi dalam kajian hukum islam, dimana sebelumnya ijtihad hukum lebih besifat deduktif; dan (2) mengintrodusir konsep tujuan hukum (maqasid asy-syari’ah)dan salah satu tujuan hukum itu adalah maslahat.
Konsep al-Ghozali ini selanjutnya diartikulasikan pada periode keempat oleh as-Syatibi (w.790/1388) yang menawarkan pendekatan integralistik sebagai altenatif tehadap pendekatan atomistik sebelumnya. Akan tetapi kehadiran asy-Syatibi sama sekali tidak menghapus pardigma liteal, tapi ingin lebih melengkapinya agar ilmu dapat lebih sempurna memahami Allah.
Dengan demikian, dlam perspektif filsafat ilmu, asy-Syatibi sebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn disebut dengan pergeseran paradigma (paradigma shift), tapi hanya lebih melengkapi paradigma lama dengan tidak telalu litealistik.
Pada awal zaman modern islam, yaitu pada abad ke-8H/14M tampil Muhammad Abduh (w,1905) yang merekonstruksi kembali pemikiran hukum islam dengan cara menghidupkan kembali semangat rasionalisme seperti pada zaman klaik yang diajukan oleh Muktazilah.
Perjalanan perkembangan dan pembaharuan hukum islam terus berlanjut, hingga pada abad ke-20 semakin banyak upaya yang dilakukan oleh para pemikir hukum islam baik yang dilakukan oleh sarjana-sarjan Muslim maupun sarjana orientalis. Hal ini mengilhami beberapa tokoh orientalis seperti Goldziler, Joseph Shacht, N.J. dalam melakukan pengembangan kajian hukum islam. Meskipun kajian-kajian yang mereka lakukan tidak mendapatkan sambutan baik dan justru mendatangkan beebrapa kritikan pedas.
Salah satu kritikan yang cukup tajam adalah berasal dari Muhammad Arkoun yang meyoroti masalah perkembangan terbaru ilmu-ilmu social di Eropa. Khususnya di Perancis. Arkoun menyebutnya sebagai Islamologi Klasik, yaitu diskursus Barat tentang Islam berdasarkan hukum lebih bersifat deduktif.[8]
Dikalangan islam, para sarjana muslim baik yang hidup di dalam atau diluar negeri ikut memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan hukum islam. Bermula dari Fazlur Rahman yang mengemukakan bahwa hukum islam berakar pada ajaran moral islam dimana hukum adalah interpretasi nilai moral itu untuk menghadapi situasi kongkret. Disusul oleh an-Na’im yang mengusung Teori Pesan-nya, sampai Syahrur dengan Teori Batasnya.
Akan tetapi usaha ini belum begitu tampak nyata karena lebih mengarah pada kegiatan individual dan tidak meupakan gerakan kolektif yang merupakan suatu mazhab. Di lain fihak tampillah al- Faruqi (w. 1986) yang memotori gerakan actual-kolektif dan ada akhirnya disebut sebagia suatu mazhab. Pemikiranya adalah tentang Islamisasi pengetahuan dimana penekanannya pada gerakan penyeimbangan antara wahyu dan akal (termasuk pengalamna) sebagai sumber pengetahuan islam.[9]









KESIMPULAN


Hukum Islam mengalami priode perkembangan-perkembangan yang salah satunya adalah disebut dengan Priode Kebangkitan yang dimulai pada bagian kedua abad ke 19 sampai dengan saat ini, dengan tokoh sentralnya adalah Jalaluddin Al-Afgani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905). Pikiran-pikiran kedua tokoh ini sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328).
Gerakan pembaharuan ini terjadi di beberapa wilayah. Diantaranya adalah Mesir, Turki, India dan Pakistan. Akan tetapi yang pertama adaah di Mesir. Berwal dari Kepergian tentara Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir (1801), yang kemudian dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk mengambil alih pemerintahan Mesir. Selanjutnya berbagai gerakan-gerakan pembaharuan yang dimulai dari menerjemahkan beberapa buku dari Barat dan mengirimkan beberapa pelajar ke Barat. Memotivasi beberapa pemikir islam dari daerah lain untuk memulai pembaharuan. Periodesasi pembaharuan hukum islam ini kemudian melahirkan beberapa aliran-aliran. Seperti mazhab tradisionalis, liberalisme sskpitualisme, dan sebagainya.






DAFTAR PUSTAKA


Al-Barry, M. Dahlan. Y.  dan Yacub, L. Lya Sofyan. 2003. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah. Surabaya: Target Press.
Abdullah, Amin H. M. 2002. Al Mazhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer. Djogjakarta: Arr-Ruzz.
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/SejarahFiqh06.html. kamis 13 oktober 2011, jam 20:10 wib.
http://www.al-ahkam.net/forum09/viewtopic.php?f=35&t=27853. kamis 13 oktober 2011, jam 20:15 wib.
Nasution, Harun. 2001. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang.
Qodir, Abdul, M.Ag. 2005. Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: CV Pustaka Setia.
Rahmat, Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di atas Fiqh. Bandung: Mizan dan Muthahari Press.



[1]Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta: Bulan Bintang, 2001), hlm. 11.
[2]Abdul Qodir, M.Ag. Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2005), hlm. 27.
[3]M.Dahlan. Y. Al-Barry dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah, ( Surabaya:Target Press 2003), hlm. 457.
[4]http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/SejarahFiqh06.html. kamis 13 oktober 2011, jam 20:10 wib.
[5]Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh, (Bandung: Mizan dan Muthahari Press, 2007), hlm. 211.
[7]Op.Cit, Jalaluddin Rahmat,  hlM.  208-210.
[8]H.M.Amin Abdullah, Al Mazhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Djogjakarta:Arr-Ruzz 2002), hlm. 149.
[9]Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar