BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam sejarah yang
telah kita telusuri, bahwa Islam telah masuk ke nusantara sebelum penjajah
menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini. Oleh sebab itu, Islam telah dikenal
dan berkembang di Indonesia.
Setelah masuknya
penjajah di Indonesia, maka perjuangan-perjuangan terhadap penjajahan tersebut
dengan maksud untuk membebaskan diri dan memerdekakan diri, banyak dilakukan
oleh Islam, yaitu dengan organisasi yang mereka buat serta para tokoh
pendirinya. Oleh sebab itu, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran
besar organisasi Islam dan para tokohnya.
Akan tetapi, Munculnya
organisasi Islam pertama kali di Indonesia, bukan hanya untuk meperjuangkan kemerdekaan,
tetapi juga sebagai upaya untuk melaksanakan ajaran Islam dan mencerdaskan
bangsa. Salah satu program yang dijalankan oleh setiap organisasi Islam
yaitu pada bidang pendidikan.
B.
Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, meliputi
berbagai aspek, yaitu:
1.
Apa saja organisasi-organisasi yang muncul
di Indonesia?
2.
Bagaimana peran dan pengaruh
organisasi-organisasi yang muncul di Indonesia terhadap pendidikan?
3.
Bagaimana peran para tokoh penyelenggara
organisasi Islam terhadap pendidikan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Organisasi dan Tokoh
Terkemuka Penyelenggara Pendidikan Islam
Organisasi yang timbul di
Indonesia merupakan suatu sikap yang diambil untuk memperjuangkan Indonesia
dari eksploitasi penjajahan kolonial Belanda yang menjajah Indonesia dengan
begitu kejam.
Organisasi tersebut nantinya
akan memberikan pengaruh besar dan mempunyai andil yang besar dalam merebut
kemerdekaan. Dari tokoh-tokoh Islam lahirlah perkumpulan atau organisasi Islam
yang pergerakannya bermaksud memperjuangkan Indonesia dari tangan penjajah,
disamping memajukan bangsa melalui pendidikan yang diperjuangkannya. Walaupun
organisasi dan perkumpulan Islam jumlahnya banyak, tetapi semua bertujuan
memajukan agama Islam dan merebut kemerdekaan dari cengkaraman penjajah.
A.
Jami’at Khair
Tekanan
dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan umat Islam di
Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke jalan yang benar,
kalangan pemikir dari Timur Tengah seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad
Abduh membawa gerakan pembaruan melalui pan islamismenya di Kampung Pekojan.
Perjuangan dua tokoh ini kemudian melahirkan sebuah organisasi islam di
Jakarta pada tanggal 17 Juli tahun 1905.[1]
Organisasi
ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh Ali dan Idrus dari keluarga
shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitikberatkan
pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.
Meski
membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair tidaklah berbentuk
sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa
tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung,
sejarah atau ilmu bumi. Sehingga pendidikan ini memiliki kurikulum, buku-buku
pelajaran yang bergambar, kelas-kelas, pemakaian bangku, papan tulis dan
sebagainya.[2]
Rasa
nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat dari penggunaan
bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa Belanda. Selain itu,
organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari Bahasa Inggris sebagai
pengganti bahasa Belanda. Sedangkan bahasa Arab dipelajari sebagai
pengantar untuk materi keislaman. Organisasi ini juga tidak membedakan golongan
ataupun status seperti yang dilakukan Belanda. Ini lantaran siswa yang
belajar tidak hanya golongan keturunan Arab tetapi juga warga bumiputera.
Jamiat
khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam masyarakat Islam,
misalnya keberadaan anggaran dasar, daftar anggota, rapat-rapat berkala
dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern. Sungguh disayangkan,
kiprah organisasi ini tersendat, disebabkan banyak anggota organisasi ini yang
terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, sehingga pemerintah Belanda
senantiasa membatasi ruang gerak dan aktivitasnya.
Kelak di
kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri
Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Serikat Islam) dan organisasi
keislaman lain di nusantara.
Zaman
telah berganti, demikian pula dengan Bangsa Indonesia yang telah meraih kemerdekaannya
melalui perjuangan nan panjang dan melelahkan. Namun, keberadaan Jamiat Khair
tetap konsisten menjadikan medium pendidikan sebagai basis perjuangan.[3]
B.
Muhammadiyah
Muhammadiyah
suatu organisasi yang berdasarkan agama Islam, sosial dan kebangsaan. Sebuah
organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II
dan sampai sekarang ini. Organisasi atau perkumpulan ini didirikan oleh K.H.
Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. atau tanggal 18
November 1912 M.
Pada
waktu muda Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, lahir pada tahun 1285 H. atau
1868 M. di kampong Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang ulama bernama K.H. Abu
Bakar bin K.H. Sulaiman, pejabat khatib di Masjid besar kesultanan Yogyakarta.
Ibunya adalah putri H. Ibrahim bin K.H. Hassan pejabat penghulu kesultanan. Salah
seorang nenek moyang Ahmad Dahlan adalah wali pertama dan paling terkenal dari
walisongo, Maulana Malik Ibrahim. Menurut sebagian besar rakyat Indonesia, wali
songo diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.[4]
Ahmad
Dahlan semasa kecilnya dididik oleh Ayahnya sendiri yang kemudian meneruskan
pelajarannya kepada para ulama yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Pada
tahun 1890 dengan bantuan kakaknya ia belajar di Makkah selama satu tahun.
Selama
ia berstudy di Makkah ia lebih tertarik pada pelajaran tafsir, dan Tafsir
Al-Manar karangan Muhammad Abduh yang banyak menjadi penerang hati dan
penginsfirasiannya. Selain itu ia banyak berbincang dengan Rasyid Ridha
sehingga reformasi yang dikatakannya telah meresap ke dalam jiwanya. Ia
termotivasi untuk melakukan perubahan yang berarti di Indonesia yang mana pada
waktu itu masih sangat tertekan oleh Kolonial Belanda.
Ahamad
Dahlan pernah menikah dengan Nyai Abdullah, janda dari H. Abdullah. Pernah
menikah dengan Nyai Rumu (Bibi Prof. A. Kahar Muzakir) adik ajengan penghulu
Cianjur, dan pernah juga menikah dengan Nyai Solikhah putri kanjeng penghulu M.
Syar’I adiknya Kyai Yasin Pakualam Yogya. Dan terakhir menikah dengan Ibu
Walidah binti Kyai Penghulu H. Fadhil yang mendampinginya hingga meninggla
dunia pada tanggal 7 Rajab 1340 H. atau 2 Februari 1923 M. di Kauman Yogyakarta
dalam usia 55 tahun.[5]
Muhammadiyah
adalah sebuah organisasi Islam yang
besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW,
sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi
pengikut Nabi Muhammad SAW.
Dalam
pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran,
diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara
kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat
tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya
umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak,
yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir
ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan
amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung
makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.[6]
Sebagai
dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit,
panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Tujuan
utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan
ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah
tertentu dengan alasan adaptasi. Itulah sebabnya tujuan perkumpulan ini
mempertinggi pendidikan agama Islam secara modern, serta memperteguh keyakinan
tentang agama Islam, sehingga terwujudlah masyarakat Islam yang
sebenar-benarnya.
Gerakan
Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat
yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang
bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem
kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Dalam anggaran
dasar Muhammadiyah menjabarkan tujuannya yang lebih operasional, antara lain
sebagai berikut:
1) Mengembalikan ajaran Islam
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits
2) Memberantas kebiasaan yang
tidak sesuai dengan ajaran Islam
3) Meningkatkan pengetahuan
agama di kalangan anggota Muhammadiyah
4) Meningkatkan kesejahteraan
manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya[7]
Oleh
sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut maka Muhammadiyah mendirikan
sekolah-sekolah yang mengutamakan pendidikan agama Islam dan tidak mengesampingkan
pelajaran umum. Selain itu, usaha yang dilakukan adalah memperluas pengajian,
mendirikan masjid, madrasah dan sekolah-sekolah, pesantren dan lain-lain.
Selain
dalam bidang pendidikan Muhammadiyah juga bergerak dalam bidang sosial umat
Islam. Maka Muhammadiyah mempunyai ciri-ciri khas, yaitu:
1) Muhammadiyah sebagai gerakan
Islam
2) Muhammadiyah sebagai gerakan
dakwah
3) Muhammadiyah sebagai gerakan
tajdid
Dari
beberapa ciri di atas terdapat pula tujuan-tujuan di antaranya adalah di bidang
pendidikan. Yang menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah adalah:
1) Tajdid
2) Kemasyarakatan
3) Aktivitas
4) Kreativitas
5) Optimisme
Tujuan
pendidikan adalah terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada
diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara. Muhammadiyah mendirikan
berbagai jenis dan tingkat sekolah serta tidak memisah-misahkan antara
pelajaran agama dengan pelajaran umum. Sehingga menjadikan manusia yang utuh
berkepribadian yang mempunyai pribadi yang berilmu pengetahuan luas dan
pengetahuan agama yang mendalam dalam melaksanakan segala aktivitas
kehidupannya.
Pada
zaman pemerintahan kolonial Belanda, sekolah-sekolah yang dilaksanakan
Muhammadiyah adalah:
1. Sekolah
Umum
Taman
Kanak-Kanak (Bustanul Athfal), Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun,
HIS 7 tahun, Mulo 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun. Pada sekolah ini
diajarkan pelajaran agama Islam sebanyak 4 jam dalam seminggu.
2. Sekolah
Agama
Madrasah
Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul
Muballigin (SPG Islam) 5 tahun dan Madrasah Diniyah.[8]
Selain ajaran agama, juga diberikan materi pelajaran umum.
Selanjutnya
pada zaman kemerdekaan, sekolah Muhammadiyah perkembangannya semakin pesat.
Pada dasarnya ada 4 macam jenis lembaga pendidikan yang dikembangkannya, yaitu:
1) Sekolah-sekolah umum yang
bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD, SMTP, SMTA,
SPG, SMEA, SMKK, dan sebagainya. Pada sekolah-sekolah ini diberikan pelajaran
agama sebanyak 6 jam seminggu.
2) Madrasah-madrasah yang
bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu: Madrasah Ibtidaiyyah (MI), MTs, dan
MA. Mutu pengetahuan umumnya yang diajarkan sederajat dengan pengetahuan agama.
3) Jenis sekolah atau madrasah
khusus Muhammadiyah, yaitu: Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabligh dan Pondok
Pesantren Muhammadiyah.
4) Perguruan Tinggi
Muhammadiyah, sampai sekarang cukup banyak mengelola lembaga pendidikan tinggi,
baik umum ataupun agama. Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah Umum di bawah
pembinaan Kopertis (Depdikbud), dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Agama di
bawah pimpinan Kopertais (Departemen Agama).
Dengan
demikian Muhammadiyah merupakan gerakan reformis Islam di Indonesia. Sejak
tahun 1917 pengaruhnya semakin meluas dengan cabang-cabangnya yang berdiri di
berbagai daerah. Hingga tahun 1925 Muhammadiyah telah memiliki 29 cabang dengan
jumlah anggotan yang mencapai 4000 orang. Tahun 1931 cabangnya bertambah
menjadi 267 dengan anggota lebih dari 24.000 orang.
C.
Nahdhatul Ulama (NU)
Pendiri
pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan
terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu
pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para
santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan
jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10
April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin
pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di
sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim
Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu
Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari
Jaka Tingkir).
Kakeknya,
Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal
dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah
pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak
kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini
mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya
yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin.
Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di
pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas
dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu
pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo
(Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan
Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai
Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada
tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di
Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi,
gurunya di bidang hadis.
Dalam
perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di
sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren
di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada
abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng,
menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam
pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan
umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku
yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara
yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia
dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama
berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk
terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim
Asy’ari.
Meski
mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri
angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan
juga menjadi besar.
Tanggal
31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim
Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi
ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun
semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan
dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan,
para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU
pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi
pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski
sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran
lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam.
Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji
yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan
alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari
ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian
ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu
diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di
Tebuireng.
Sesudah
Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar
semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan
kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan
otak dan dimakamkan di Tebuireng.[9]
Nahdhatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan
ejaan lama “Nahdlatoel Oelama (NO)” didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari
1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut
mazhab yang sering kali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunah Waljama’ah
yang dipelopori oleh:
1) K.H. Hasyim Asy’ari
2) K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
3) K.H. Bisri
4) K.H. Riduwan
5) K.H. Nawawi
6) K.H. R. Asnawi
7) K.H. R. Hambali
8) K.H. Nakhrawi
9) K.H. Doromuntaha
10) K.H. M. Alwi Abdul Aziz
Maksud
dan usaha yang dilakukan NU secara eksplisit terlihat dari Anggaran Dasarnya,
diantaranya pada pasal 2 dan 3, yaitu sebagai berikut:
“Pasal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini
jaitoe: Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja imam ampat,
jaitoe imam Moehammad bin Idris Aj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam
Abo-Hanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja
jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam”.[10]
Pasal 3.
Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
1. Mengadakan perhoeboengan di
antara ‘Oelama-oelama jang bermazhab terseboet dalam pasal 2.
2. Memeriksa kitab-kitab
sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada
kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal-Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah.
3. Menjiarkan agama Islam di
atas mazhab sebagai terseboet dalam pasal 2, dengan dijalanan apa sadja yang
baik.
4. Berichtiar memperbanjak
madrasah-madarasah jang berdasarkan Agama Islam.
5. Memperhatikan hal-hal jang
berhoeboengan dengan masjid-masjid, langgar-langgar dan pondok, begitoe joega
dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
6. Mendirikan badan-badan
oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada
dilarang oleh sjara’ Agama Islam.
Sebelum
menjadi partai Politik , NU bertujuan memegang teguh salah satu mazhab dari
mazhab imam yang empat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab
Hambali dan mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam
(ADNU tahun 1926).
Setelah
menjadi partai politik Mei 1952 yang dituangkan dalam anggaran Dasarnya
yang baru, di mana NU bertujuan:
1) Menegakkan syari’at Islam
dengan berhaluan salah satu dari empat mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab
Syafi’i, dan Mazhab Hambali
2) Melaksanakan berlakunya
hukum-hukum Islam dalam masyarakat.
Akan
tetapi, NU masih mepertahankan cirri khasnya yaitu memegan teguh kepada mazhab
fiqih dalam rangka menegakkan syari’at Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut
dilakukanlah usaha-usaha, antara lain:
1) Menyiarkan agama Islam
melalui tablig-tablig, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan.
2) Mempertinggi mutu pendidikan
dan pengajaran Islam
Dalam
rangka memajukan masyarakat yang masih terbelakang, maka NU sebagai organisasi
sosial keagamaan mencoba memajukan masyarakat melalui jalur pendidikan.
Selanjutnya,
pada akhir tahun 1938 (1356 H) komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglemen
tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2
Muharram 1357 H. Adapun susunan madrasah-madrasah tersebut adalah:
1) Madrasah Awaliyah dengan lama
belajar 2 tahun
2) Madrasah Ibtidaiyyah dengan
lama belajar 3 tahun
3) Madrasah Tsanawiyah dengan
lama belajar 3 tahun
4) Madrasah Mu’allimin Wustha 2
tahun
5) Madrasah Mu’allimin “Ulya” 3
tahun
Kurikulum
yang menjadi acuan pengajaran di Madrasah-madrasah tersebut tampaknya harus
menurut ketentuan PBNU bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan
Ma’rif.
Dalam
bidang pendidikan dan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus
yang menanganinya, yaitu yang disebut Ma’arif di mana tugasnya adalah untuk
membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau
sekolah yang berada di bawah naungan NU.
Berdasarkan
data tahun 1981, jumlah lembaga pendidikan yang dikelola NU adalah sebagai
berikut:
1) Pondok Pesantren
3.745 buah
2) Madrasah 18.938 buah
3) Sekolah umum 3.102 buah
Dari
data di atas belum termasuk perguruan tingginya, dan untuk pesantren itupun
hanya di pulau Jawa. Sedangkan kondisi sekarang tentu saja NU terus bertambah.
D.
Al-Irsyad
Syekh Ahmad Surkati adalah tokoh utama berdirinya Jam'iyat
al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berubah menjadi Jam'iyat
al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah), atau disingkat dengan nama Al-Irsyad. Banyak ahli sejarah mengakui
perannya yang besar dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun
sayang namanya tak banyak disebut dalam wacana sejarah pergulatan pemikiran
Islam di Indonesia.
Sejarawan
Deliar Noer menyatakan Ahmad Surkati "memainkan peran penting"
sebagai mufti. Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut dia "seorang
pembaharu Islam di Indonesia." Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai
gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir,
sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha lewat Jam'iyat
al-Islah wal Irsyad (Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan).
Sejarawan
Abubakar Aceh menyebut Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di
Jawa. Howard M. Federspiel menyebut Syekh Ahmad Surkati sebagai "penasehat
awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia". Dan pendiri Persatuan
Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus, oleh Federspiel disebut sebagi
sahabat karib Syekh Ahmad Surkati.
Pengakuan
terhadap ketokohan Syekh Ahmad Surkati juga datang dari seorang tokoh Persis,
A. Hassan. Menurut A. Hassan juga menyebut, pendiri Muhammadiyah H. Ahmad
Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati.[11]
Al-Irsyad merupakan madrasah yang tertua dan termasyhur
di Jakarta yang didirikan pada tahun 1913 oleh Perhimpunan Al-Irsyad Jakarta
dengan tokoh pelopornya Ahmad Syurkati Al-Anshari.
Tujuan
perkumpulan Al-Irsyad ini adalah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di
kalangan bangsa Arab di Indonesia. Al-Irsyad di samping bergerak di bidang
pendidikan, juga bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunah Rasul secara murni dan konsekuen.
Dalam bidang
pendidikan, Al-Irsyad mendirikan madrasah:
1) Awaliyah, lama belajar 3
tahun (3 kelas)
2) Ibtidaiyah, lama belajar 4
tahun (4 kelas)
3) Tajhiziah, lama belajar
2 tahun (2 kelas)
4) Mu’allimin, lama belajar 4
tahun (4 kelas)
5) Takhassus, lama belajar 2
tahun (2 kelas)
Pada
tahun 1924 dimulailah usaha perbaikan organisasi sekolah, ketika dikeluarkannya
sebuah peraturan di mana hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat
diterima pada kelas satu Sekolah Dasar yang lama belajarnya 5 tahun. Begitu
juga pelajar-pelajar dari sekolah guru mempunyai kesempatan untuk praktek atau
latihan mengajar. Anak yang lebih dari 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas yang
lebih tinggi tergantung pada kemampuan yang diperlihatkannya pada ujian masuk
yang dilaksanakan semacam placement
test untuk sekarang.
Pemikiran
dari organisasi ini banyak diambil dari Muhammad Abduh, salah satunya yaitu
dalam bidang pendidikan agama bahwa dalam mendidik seseorang anak hendaklah
ditekankan pada bidang tauhid, fiqih dan sejarah.
Dengan
tauhid dapat mengembangkan jiwa dan harta tanpa keraguan, dengan fiqih dapat
meperbaiki budi pekerti dan batin manusia, dengan sejarah Islam dapat
menghidupkan kebenaran dan kejayaan Islam pada masa lalu. Intinya bahwa
pendidikan merupakan pembentukan watak, kemauan, dan latihan untuk melaksanakan
kewajiban.
Pada
prinsipnya Ahmad Surkati mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul, dan menentang pendapat yang memutuskan bahwa pintu ijtihad telah
tertutup serta mencukupi dengan empat mazhab saja yang dipegang. Hal ini
disebabkan hukum Islam terus bekembang sepanjang zaman, sehingga menentang
taqlid, yang pada prinsipnya membekukan hukum Islam.
Dewasa
ini organisasi Al-Irsyad terus berkembang dan bidang yang menjadi garapannya
pun semakin luas, baik bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan sebagainya.[12]
E.
Perserikatan Ulama
Organisasi Islam yang bernama Perserikatan Ulama ini
merupakan perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia,
hal ini khususnya terjadi di daerah Majalengka, Jawa Barat. Kehadiran Perserikatan Ulama
ini adalah inisiatif K.H. Abdul Halim pada tahun 1911.
K.H.
Abdul Halim pernah pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan sekaligus
menimba ilmu pengetahuan, akan tetapi pemikirannya banyak tidak dipengaruhi
oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani, hal ini dapat dibuktikan dengan terlihatnya
ia memegang mazhab Syafi’i sampai wafatnya.
Lembaga
pendidikan tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju dengan
meninggalkan sistem lama yang memakai halaqah. Inilah yang mengilhaminya untuk
mengadakan perubahan sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya
sekembalinya ke tanah air. Di samping itu juga motivasinya adalah untuk
membuktikan kepala pihak familinya yang kebanyakan golongan priyayi (politik
pendidikan pemerintah kolonial) bahwa dia meskipun dari golongan rakyat biasa
mampu melayani masyarakat dengan baik.
Setelah
enam bulan sekembalinya dari Tanah Suci Makkah pada tahun 1911 Abdul Halim
mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub yang bergerak dalam
bidang ekonomi dan pendidikan. Orang-orang yang bergabung di dalamnya
kebanyakan dari petani dan pedagang. Di bidang ekonomi pada mulanya organisasi
ini bermaksud untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang
perdagangan dalam persaingannya dengan pedagang-pedagang Cina. Sedang di
bidang pendidikan, KH. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama
skali seminggu untuk orang-orang dewasa. Umumnya materi yang diberikan adalah
pelajaran fiqh dan hadits.
Dalam
rangka perbaikan mutu lembaga pendidikannya Abdul Halim berhubungan dengan
Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada
tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi
bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
Organisasi
tersebut kemudian diganti namanya menjadi Perserikatan Ulama, yang disahkan
secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan HOS Cokroaminoto
(pimpinan Serikat Islam). Ia disebut juga Perikatan Umat Islam yang pada tahun
1952 difusikan dengan organisasi lainnya Al-Ittahadiyatul Islamiyah menjadi Persatuan
Umat Islam (PUI).
Perserikatan
Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura mulai
tahun 1924 dan pada tahun 1937 lebih jauh lagi ke seluruh Indonesia. Kemudian
pada tahun 1932 dalam suatu Kongres Perserikatan Ulama di Majalengka Abdul
Halim mengusulkan agar didirikan sebuah lembaga pendidikan yang akan melengkapi
pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan
ilmu pengetahuan umum, tetapi juga kelengkapsan-kelengkapsan berupa pengembangan
profesi dan keterampilan seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian,
tergantung pada bakat maing-masing yang bersangkutan.[13]
F.
Persatuan Islam (Persis)
Didirikan
secara resmi pada tanggal 12 September1923 di Bandung oleh sekelompok orang
Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh
Zamzam dan Muhammad Yunus.
Persis
memberikan perhatian besar dalam bidang pendidikan. Persis mendirikan sebuah
madarasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak anggota persis. Akan
tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk menerima anak-anak lain.[14]
Di
samping menyelenggarakan pendidikan Islam berupa madrasah atau sekolah lain,
Persis juga mendirikan sebuah pesantren. Pesantren Persis didirikan di Bandung
tanggal 1 Dzulhijjah 1354 H bertepatan dengan Maret 1936. Pesantren ini
dipimpin oleh A. Hasan sebagai kepala dan Muhammad Nasir sebagai Penasehat dan
Guru.
Tujuan
pendidikan pesantren ini untuk mengeluarkan mubalig-mubalig yang sanggup
menyiarkan, mengajar, membela dan mengajarkan agama Islam. Dengan demikian,
diharapkan terbentuknya kader-kader yang punya kemauan keras untuk melakukan
dakwah Islamiyah.
Namun
demikian, pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem
pendidikan Persis, yakni ketika pimpinan pesantren Persis secara kelembagaan
mengizinkan para santri untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi
belajar tahap akhir persamaan. Hal ini belaku bagi siswa yang merampungkan
studinya di tingkat Tsanawiyah maupun tingkat muallimin. Hal ini merupakan langkah
besar bagi Persis karena pada masa kepemimpinan sebelumnya di bawah pimpinan
KH. Abdurrahman, para santri dan siswa di lingkungan persis tidak diperbolehkan
mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah
negeri. Dalam perspektif Kyai, hal ini akan mempengaruhi visi dan orientasi
para siswa di didik di lingkungan Persis untuk menjadi ulama menjadi cenderung
pragmatis seperti pegawai negeri.[15]
G.
Al-Washliyah
Al-Jami’atul
Washiliyah didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan
tanggal 9 Rajab 1249 H oleh para pelajar-pelajar dan guru-guru Maktab Islamiyah
Tapanuli. Maktab Islamiyah Tapanuli. ini adalah sebuah madrasah yang didirikan
di Medan pada tanggal 19 Mei 1913 oleh masyarakat Tapanuli dan merupakan
madrasah yang tertua di Medan.
Sebagai
pengurus yang pertama pada organisasi ini adalah Isma’il Banda sebagai ketua I,
A Rahman Syihab ketua II dan sebagai penasihatnya adalah Syeikh H.M. Yunus.
Al-Washiliyah
adalah sebuah organisasi yang berasaskan Islam, yang dalam fiqh memakai mazhab
Syafi’i serta dalam hal i’tiqad adalah Ahulussunah Waljama’ah al-Washiliyah
bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan keagamaan.
Al-Washiliyah
menyelenggarakan pendidikannya dengan susunan sebagai bersikut:
1) Madrasah
Ibtidaiyyah 6 tahun
2) Madrasah
Tsanawiyah 3 tahun
3) Madrasah
Qimul Ali 3 tahun
4) Madrasah
Mualimun 3 tahun
5) PGA
6) Madrasah
Al-Washiliyah 6 tahun
7) SMP
Al-Washiliyah 6 tahun
8) SMA
Al-Washiliyah 6 tahun
Untuk lembaga pendidikan
sekolah dasar sampai SMA materi pelajarannya adalah 70 % umum 30 % agama. Pada
tahun 1958 Al-Washiliyah telah mampu mendirikan Perguruan Tinggi Agam Islam
(PTAI) di Medan dan Jakarta. Di Medan kemudian menjadi Universitas dan
mempunyai cabang, seperti Sibolga, Kebun Jahe, Rantau Prapat, Lansa (Aceh)
bahkan sampai ke Kalimantan tepatnya di Barabai Kalimantan Selatan yang
sekarang bernama Al-Washiliyah Barabai.
BAB
III
KESIMPULAN
Pendidikan Islam, atas peran dan fungsi organisasi
beragama yang lahir untuk membimikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat
muslim pada khususnya. Kondisi Pendidikan Islam pada masa penjajahan cukup
banyak mendapat tekanan dari pihak penjajah namun dengan semangat jiwa
patriotisme dan semangat jihad di jalan Allah yang dimiliki oleh para pejuang
Islam mampu melawan penjajah dengan berbagai cara termasuk penyelenggaraan
pendidikan Islam sesuai dengan organisasi keagamaan yang telah dibentuk
masing-masing tokoh pendidikan tersebut.
Latar belakang munculnya pendidikan Islam di
Indonesia akibat adanya desakan penjajah untuk membatasi gerakan keagamaan
dalam bidang pendidikan, di samping itu juga munculnya gerakan pembaharuan
pemikiran keagamaan dari tokoh Islam.
Pendidikan Islam sesudah merdeka mendapat perhatian
dari Pemerintah terbukti dari segi kualitas dan kuantitas pendidikan, dalam
sarana penunjang keberhasilan pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah,
Harun. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hasan,
M. Ali dan Mukti Ali. 2003. Kapita
Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Hasbullah,
Drs. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
http://www.republika.co.id/berita/republika-tv/ummat/10/01/25/102195-jamiat-kheir-perlawanan-melalui-pendidikan,
Kamis 6 Oktober 2011, jam 16:15 wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah,
kamis 6 september 2011, jam 16:24 wib.
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-kh-hasyim-asyari-perintis.html,
kamis 6 oktober 2011, jam 16:34 wib.
http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=42,
kamis 6 oktober 2011, jam 16: 32 wib.
Saleh,
Abdul Rahman. 2006. Madrasah
dan Pendidikan Anak Bangsa Visi, Misi, dan Aksi. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Suwendi,
M.Ag. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm. 92.
Yuzar,
Muhammad, Drs. M.Pd. dkk. 2009. Sejarah. Pekanbaru: Amara.
[1]Hanun
Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992), hlm. 143.
[2]Drs.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 92.
[3]http://www.republika.co.id/berita/republika-tv/ummat/10/01/25/102195-jamiat-kheir-perlawanan-melalui-pendidikan,
Kamis 6 Oktober 2011, jam 16:15 wib.
[4]Suwendi,
M.Ag. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada, 2004), hlm. 92.
[5]Loc.Cit.
Drs. Hasbullah, hlm. 94-95.
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah,
kamis 6 september 2011, jam 16:24 wib.
[7]Drs.
Muhammad Yuzar, M.Pd. dkk. Sejarah, (Pekanbaru: Amara, 2009), hlm. 76.
[8]Abdul
Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa Visi, Misi, dan Aksi,
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.19.
[9]http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-kh-hasyim-asyari-perintis.html,
kamis 6 oktober 2011, jam 16:34 wib.
[10]Op.Cit.
Suwendi, M.Ag. hlm. 104.
[11]http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=42,
kamis 6 oktober 2011, jam 16: 32 wib.
[12]Loc.Cit.
Drs. Hasbullah, hlm. 113-117.
[13]Ibid.
hlm. 117-120.
[14]Ibid.
hlm. 121.
[15] M.Ali
Hasan, Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman
Ilmu Jaya, 2003), Hlm. 9-27.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar