Selasa, 08 Mei 2012

tokoh penyelenggara pendidikan islam


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Dalam sejarah yang telah kita telusuri, bahwa Islam telah masuk ke nusantara sebelum penjajah menginjakkan kakinya di bumi nusantara ini. Oleh sebab itu, Islam telah dikenal dan berkembang di Indonesia.
Setelah masuknya penjajah di Indonesia, maka perjuangan-perjuangan terhadap penjajahan tersebut dengan maksud untuk membebaskan diri dan memerdekakan diri, banyak dilakukan oleh Islam, yaitu dengan organisasi yang mereka buat serta para tokoh pendirinya. Oleh sebab itu, kemerdekaan Indonesia tidak terlepas dari peran besar organisasi Islam dan para tokohnya.
Akan tetapi, Munculnya organisasi Islam pertama kali di Indonesia, bukan hanya untuk meperjuangkan kemerdekaan, tetapi juga sebagai upaya untuk melaksanakan ajaran Islam dan mencerdaskan bangsa.  Salah satu program yang dijalankan oleh setiap organisasi Islam yaitu pada bidang pendidikan.

B.       Rumusan Masalah
Permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini, meliputi berbagai aspek, yaitu:
1.      Apa saja organisasi-organisasi yang muncul di Indonesia?
2.      Bagaimana peran dan pengaruh organisasi-organisasi yang muncul di Indonesia terhadap pendidikan?
3.      Bagaimana peran para tokoh penyelenggara organisasi Islam terhadap pendidikan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
Organisasi dan Tokoh Terkemuka Penyelenggara Pendidikan Islam

Organisasi yang timbul di Indonesia merupakan suatu sikap yang diambil untuk memperjuangkan Indonesia dari eksploitasi penjajahan kolonial Belanda yang menjajah Indonesia dengan begitu kejam.
Organisasi tersebut nantinya akan memberikan pengaruh besar dan mempunyai andil yang besar dalam merebut kemerdekaan. Dari tokoh-tokoh Islam lahirlah perkumpulan atau organisasi Islam yang pergerakannya bermaksud memperjuangkan Indonesia dari tangan penjajah, disamping memajukan bangsa melalui pendidikan yang diperjuangkannya. Walaupun organisasi dan perkumpulan Islam jumlahnya banyak, tetapi semua bertujuan memajukan agama Islam dan merebut kemerdekaan dari cengkaraman penjajah.

A.    Jami’at Khair
Tekanan dari penjajah Belanda berpengaruh besar terhadap pergerakan umat Islam di Nusantara. Untuk mengembalikan pergerakan umat Islam ke jalan yang benar, kalangan pemikir dari Timur Tengah seperti Jamaluddin Al-Afghani dan Muhammad Abduh membawa gerakan pembaruan melalui pan islamismenya di Kampung Pekojan.  Perjuangan dua tokoh ini kemudian melahirkan sebuah organisasi islam di Jakarta pada tanggal 17 Juli tahun 1905.[1]
Organisasi ini diberi nama Jamiat Khair. Didirikan oleh Ali dan Idrus dari keluarga shahab. Organisasi ini tidak bergerak di bidang politik tetapi menitikberatkan pada semangat pembaruan melalui lembaga pendidikan modern.
Meski membangun basis perjuangan melalui pendidikan, Jamiat Khair tidaklah berbentuk sekolah agama melainkan sekolah dasar biasa dengan kurikulum modern. Para siswa tidak melulu diajarkan materi agama tetapi juga materi umum seperti berhitung, sejarah atau ilmu bumi. Sehingga pendidikan ini memiliki kurikulum, buku-buku pelajaran yang bergambar, kelas-kelas, pemakaian bangku, papan tulis dan sebagainya.[2]
Rasa nasionalisme mulai dipupuk di organisasi ini. Hal itu terlihat dari penggunaan bahasa Melayu sebagai pengantar dan bukan bahasa Belanda. Selain itu, organisasi ini juga mewajibkan siswanya mempelajari Bahasa Inggris sebagai pengganti bahasa Belanda.  Sedangkan bahasa Arab dipelajari sebagai pengantar untuk materi keislaman. Organisasi ini juga tidak membedakan golongan ataupun status seperti yang dilakukan Belanda.  Ini lantaran siswa yang belajar tidak hanya golongan keturunan Arab tetapi juga warga bumiputera.
Jamiat khair juga berperan atas masuknya unsur-unsur modern dalam masyarakat Islam, misalnya  keberadaan anggaran dasar, daftar anggota, rapat-rapat berkala  dan mendirikan sekolah dengan cara-cara modern. Sungguh disayangkan, kiprah organisasi ini tersendat, disebabkan banyak anggota organisasi ini yang terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik, sehingga pemerintah Belanda senantiasa membatasi ruang gerak dan aktivitasnya.
Kelak di kemudian hari organisasi ini menghasilkan tokoh KH Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan HOS Tjokroaminoto (pendiri Serikat Islam) dan organisasi keislaman lain di nusantara.
Zaman telah berganti, demikian pula dengan Bangsa Indonesia yang telah meraih kemerdekaannya melalui perjuangan nan panjang dan melelahkan. Namun, keberadaan Jamiat Khair tetap konsisten menjadikan medium pendidikan sebagai basis perjuangan.[3]

B.     Muhammadiyah
Muhammadiyah suatu organisasi yang berdasarkan agama Islam, sosial dan kebangsaan. Sebuah organisasi sosial Islam yang terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan sampai sekarang ini. Organisasi atau perkumpulan ini didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H. atau tanggal 18 November 1912 M.
Pada waktu muda Ahmad Dahlan bernama Muhammad Darwis, lahir pada tahun 1285 H. atau 1868 M. di kampong Kauman Yogyakarta. Ayahnya seorang ulama bernama K.H. Abu Bakar bin K.H. Sulaiman, pejabat khatib di Masjid besar kesultanan Yogyakarta. Ibunya adalah putri H. Ibrahim bin K.H. Hassan pejabat penghulu kesultanan. Salah seorang nenek moyang Ahmad Dahlan adalah wali pertama dan paling terkenal dari walisongo, Maulana Malik Ibrahim. Menurut sebagian besar rakyat Indonesia, wali songo diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW.[4]
Ahmad Dahlan semasa kecilnya dididik oleh Ayahnya sendiri yang kemudian meneruskan pelajarannya kepada para ulama yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya. Pada tahun 1890 dengan bantuan kakaknya ia belajar di Makkah selama satu tahun.
Selama ia berstudy di Makkah ia lebih tertarik pada pelajaran tafsir, dan Tafsir Al-Manar karangan Muhammad Abduh yang banyak menjadi penerang hati dan penginsfirasiannya. Selain itu ia banyak berbincang dengan Rasyid Ridha sehingga reformasi yang dikatakannya telah meresap ke dalam jiwanya. Ia termotivasi untuk melakukan perubahan yang berarti di Indonesia yang mana pada waktu itu masih sangat tertekan oleh Kolonial Belanda.
Ahamad Dahlan pernah menikah dengan Nyai Abdullah, janda dari H. Abdullah. Pernah menikah dengan Nyai Rumu (Bibi Prof. A. Kahar Muzakir) adik ajengan penghulu Cianjur, dan pernah juga menikah dengan Nyai Solikhah putri kanjeng penghulu M. Syar’I adiknya Kyai Yasin Pakualam Yogya. Dan terakhir menikah dengan Ibu Walidah binti Kyai Penghulu H. Fadhil yang mendampinginya hingga meninggla dunia pada tanggal 7 Rajab 1340 H. atau 2 Februari 1923 M. di Kauman Yogyakarta dalam usia 55 tahun.[5]

Muhammadiyah adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Nama organisasi ini diambil dari nama Nabi Muhammad SAW, sehingga Muhammadiyah juga dapat dikenal sebagai orang-orang yang menjadi pengikut Nabi Muhammad SAW.
Dalam pembentukannya, Muhammadiyah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.[6]
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.
Tujuan utama Muhammadiyah adalah mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Itulah sebabnya tujuan perkumpulan ini mempertinggi pendidikan agama Islam secara modern, serta memperteguh keyakinan tentang agama Islam, sehingga terwujudlah masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya.
Dalam anggaran dasar Muhammadiyah menjabarkan tujuannya yang lebih operasional, antara lain sebagai berikut:
1)      Mengembalikan ajaran Islam sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits
2)      Memberantas kebiasaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam
3)      Meningkatkan pengetahuan agama di kalangan anggota Muhammadiyah
4)      Meningkatkan kesejahteraan manusia pada umumnya dan umat Islam pada khususnya[7]
Oleh sebab itu, untuk mencapai tujuan tersebut maka Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang mengutamakan pendidikan agama Islam dan tidak mengesampingkan pelajaran umum. Selain itu, usaha yang dilakukan adalah memperluas pengajian, mendirikan masjid, madrasah dan sekolah-sekolah, pesantren dan lain-lain.
Selain dalam bidang pendidikan Muhammadiyah juga bergerak dalam bidang sosial umat Islam. Maka Muhammadiyah mempunyai ciri-ciri khas, yaitu:
1)      Muhammadiyah sebagai gerakan Islam
2)      Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah
3)      Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid

Dari beberapa ciri di atas terdapat pula tujuan-tujuan di antaranya adalah di bidang pendidikan. Yang menjadi dasar pendidikan Muhammadiyah adalah:
1)      Tajdid
2)      Kemasyarakatan
3)      Aktivitas
4)      Kreativitas
5)      Optimisme

Tujuan pendidikan adalah terwujudnya manusia muslim, berakhlak, cakap, percaya kepada diri sendiri, berguna bagi masyarakat dan negara. Muhammadiyah mendirikan berbagai jenis dan tingkat sekolah serta tidak memisah-misahkan antara pelajaran agama dengan pelajaran umum. Sehingga menjadikan manusia yang utuh berkepribadian yang mempunyai pribadi yang berilmu pengetahuan luas dan pengetahuan agama yang mendalam dalam melaksanakan segala aktivitas kehidupannya.
Pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, sekolah-sekolah yang dilaksanakan Muhammadiyah adalah:

1.      Sekolah Umum
Taman Kanak-Kanak (Bustanul Athfal), Vervolg School 2 tahun, Schakel School 4 tahun, HIS 7 tahun, Mulo 3 tahun, AMS 3 tahun, dan HIK 3 tahun. Pada sekolah ini diajarkan pelajaran agama Islam sebanyak 4 jam dalam seminggu.

2.      Sekolah Agama
Madrasah Ibtidaiyah 3 tahun, Tsanawiyah 3 tahun, Muallimin/Muallimat 5 tahun, Kulliatul Muballigin (SPG Islam) 5 tahun dan Madrasah Diniyah.[8] Selain ajaran agama, juga diberikan materi pelajaran umum.

Selanjutnya pada zaman kemerdekaan, sekolah Muhammadiyah perkembangannya semakin pesat. Pada dasarnya ada 4 macam jenis lembaga pendidikan yang dikembangkannya, yaitu:
1)      Sekolah-sekolah umum yang bernaung di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yaitu: SD, SMTP, SMTA, SPG, SMEA, SMKK, dan sebagainya. Pada sekolah-sekolah ini diberikan pelajaran agama sebanyak 6 jam seminggu.
2)      Madrasah-madrasah yang bernaung di bawah Departemen Agama, yaitu: Madrasah Ibtidaiyyah (MI), MTs, dan MA. Mutu pengetahuan umumnya yang diajarkan sederajat dengan pengetahuan agama.
3)      Jenis sekolah atau madrasah khusus Muhammadiyah, yaitu: Muallimin, Muallimat, Sekolah Tabligh dan Pondok Pesantren Muhammadiyah.
4)      Perguruan Tinggi Muhammadiyah, sampai sekarang cukup banyak mengelola lembaga pendidikan tinggi, baik umum ataupun agama. Untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah Umum di bawah pembinaan Kopertis (Depdikbud), dan Perguruan Tinggi Muhammadiyah Agama di bawah pimpinan Kopertais (Departemen Agama).
Dengan demikian Muhammadiyah merupakan gerakan reformis Islam di Indonesia. Sejak tahun 1917 pengaruhnya semakin meluas dengan cabang-cabangnya yang berdiri di berbagai daerah. Hingga tahun 1925 Muhammadiyah telah memiliki 29 cabang dengan jumlah anggotan yang mencapai 4000 orang. Tahun 1931 cabangnya bertambah menjadi 267 dengan anggota lebih dari 24.000 orang.

C.    Nahdhatul Ulama (NU)
Pendiri pesantren Tebuireng dan perintis Nahdlatul Ulama (NU), salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ini dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).
Kakeknya, Kiai Ustman terkenal sebagai pemimpin Pesantren Gedang, yang santrinya berasal dari seluruh Jawa, pada akhir abad 19. Dan ayah kakeknya, Kiai Sihah, adalah pendiri Pesantren Tambakberas di Jombang.
Semenjak kecil hingga berusia empat belas tahun, putra ketiga dari 11 bersaudara ini mendapat pendidikan langsung dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman. Hasratnya yang besar untuk menuntut ilmu mendorongnya belajar lebih giat dan rajin. Hasilnya, ia diberi kesempatan oleh ayahnya untuk membantu mengajar di pesantren karena kepandaian yang dimilikinya.
Tak puas dengan ilmu yang diterimanya, semenjak usia 15 tahun, ia berkelana dari satu pesantren ke pesantren lain. Mulai menjadi santri di Pesantren Wonokoyo (Probolinggo), Pesantren Langitan (Tuban), Pesantren Trenggilis (Semarang), dan Pesantren Siwalan, Panji (Sidoarjo). Di pesantren Siwalan ia belajar pada Kyai Jakub yang kemudian mengambilnya sebagai menantu.
Pada tahun 1892, Kiai Hasyim Asy’ari menunaikan ibadah haji dan menimba ilmu di Mekah. Di sana ia berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi, gurunya di bidang hadis.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air, ia singgah di Johor, Malaysia dan mengajar di sana. Pulang ke Indonesia tahun 1899, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan pesantren di Tebuireng yang kelak menjadi pesantren terbesar dan terpenting di Jawa pada abad 20. Sejak tahun 1900, Kiai Hasyim Asy’ari memosisikan Pesantren Tebuireng, menjadi pusat pembaruan bagi pengajaran Islam tradisional.
Dalam pesantren itu bukan hanya ilmu agama yang diajarkan, tetapi juga pengetahuan umum. Para santri belajar membaca huruf latin, menulis dan membaca buku-buku yang berisi pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.
Cara yang dilakukannya itu mendapat reaksi masyarakat sebab dianggap bidat. Ia dikecam, tetapi tidak mundur dari pendiriannya. Baginya, mengajarkan agama berarti memperbaiki manusia. Mendidik para santri dan menyiapkan mereka untuk terjun ke masyarakat, adalah salah satu tujuan utama perjuangan Kiai Hasyim Asy’ari.
Meski mendapat kecaman, pesantren Tebuireng menjadi masyur ketika para santri angkatan pertamanya berhasil mengembangkan pesantren di berbagai daerah dan juga menjadi besar.
Tanggal 31 Januari 1926, bersama dengan tokoh-tokoh Islam tradisional, Kiai Hasyim Asy’ari mendirikan Nahdlatul Ulama, yang berarti kebangkitan ulama. Organisasi ini pun berkembang dan banyak anggotanya. Pengaruh Kiai Hasyim Asy’ari pun semakin besar dengan mendirikan organisasi NU, bersama teman-temannya. Itu dibuktikan dengan dukungan dari ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan, para ulama di berbagai daerah sangat menyegani kewibawaan Kiai Hasyim. Kini, NU pun berkembang makin pesat. Organisasi ini telah menjadi penyalur bagi pengembangan Islam ke desa-desa maupun perkotaan di Jawa.
Meski sudah menjadi tokoh penting dalam NU, ia tetap bersikap toleran terhadap aliran lain. Yang paling dibencinya ialah perpecahan di kalangan umat Islam. Pemerintah Belanda bersedia mengangkatnya menjadi pegawai negeri dengan gaji yang cukup besar asalkan mau bekerja sama, tetapi ditolaknya.
Dengan alasan yang tidak diketahui, pada masa awal pendudukan Jepang, Hasyim Asy’ari ditangkap. Berkat bantuan anaknya, K.H. Wahid Hasyim, beberapa bulan kemudian ia dibebaskan dan sesudah itu diangkat menjadi Kepala Urusan Agama. Jabatan itu diterimanya karena terpaksa, tetapi ia tetap mengasuh pesantrennya di Tebuireng.
Sesudah Indonesia merdeka, melalui pidato-pidatonya Kiai Hasyim Asy’ari membakar semangat para pemuda supaya mereka berani berkorban untuk mempertahankan kemerdekaan. Ia meninggal dunia pada tanggal 25 Juli 1947 karena pendarahan otak dan dimakamkan di Tebuireng.[9]

Nahdhatul Ulama pada waktu berdirinya ditulis dengan ejaan lama “Nahdlatoel Oelama (NO)” didirikan di Surabaya tanggal 31 Januari 1926 M bertepatan dengan tanggal 16 Rajab 1444 H oleh kalangan ulama penganut mazhab yang sering kali menyebut dirinya sebagai golongan Ahlussunah Waljama’ah yang dipelopori oleh:
1)      K.H. Hasyim Asy’ari
2)      K.H. Abdul Wahab Hasbullah.
3)      K.H. Bisri
4)      K.H. Riduwan
5)      K.H. Nawawi
6)      K.H. R. Asnawi
7)      K.H. R. Hambali
8)      K.H. Nakhrawi
9)      K.H. Doromuntaha
10)  K.H. M. Alwi Abdul Aziz
Maksud dan usaha yang dilakukan NU secara eksplisit terlihat dari Anggaran Dasarnya, diantaranya pada pasal 2 dan 3, yaitu sebagai berikut:
“Pasal 2. Adapoen maksoed perkoempoelan ini jaitoe: Memegang dengan tegoeh pada salah satoe dari mazhabnja imam ampat, jaitoe imam Moehammad bin Idris Aj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abo-Hanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam”.[10]

Pasal 3. Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
1.      Mengadakan perhoeboengan di antara ‘Oelama-oelama jang bermazhab terseboet dalam pasal 2.
2.      Memeriksa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal-Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah.
3.      Menjiarkan agama Islam di atas mazhab sebagai terseboet dalam pasal 2, dengan dijalanan apa sadja yang baik.
4.      Berichtiar memperbanjak madrasah-madarasah jang berdasarkan Agama Islam.
5.      Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masjid-masjid, langgar-langgar dan pondok, begitoe joega dengan hal-ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
6.      Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara’ Agama Islam.

Sebelum menjadi partai Politik , NU bertujuan memegang teguh salah satu mazhab dari mazhab imam yang empat Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali dan mengajarkan apa-apa yang menjadi kemaslahatan untuk agama Islam (ADNU tahun 1926).
Setelah menjadi partai politik Mei 1952 yang dituangkan dalam anggaran Dasarnya  yang baru, di mana NU bertujuan:
1)      Menegakkan syari’at Islam dengan berhaluan salah satu dari empat mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i, dan Mazhab Hambali
2)      Melaksanakan berlakunya hukum-hukum Islam dalam masyarakat.

Akan tetapi, NU masih mepertahankan cirri khasnya yaitu memegan teguh kepada mazhab fiqih dalam rangka menegakkan syari’at Islam. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukanlah usaha-usaha, antara lain:
1)      Menyiarkan agama Islam melalui tablig-tablig, kursus-kursus dan penerbitan-penerbitan.
2)      Mempertinggi mutu pendidikan dan pengajaran Islam
Dalam rangka memajukan masyarakat yang masih terbelakang, maka NU sebagai organisasi sosial keagamaan mencoba memajukan masyarakat melalui jalur pendidikan.
Selanjutnya, pada akhir tahun 1938 (1356 H) komisi perguruan NU berhasil melahirkan reglemen tentang susunan madrasah-madrasah NU yang harus dijalankan mulai tanggal 2 Muharram 1357 H. Adapun susunan madrasah-madrasah tersebut adalah:
1)      Madrasah Awaliyah dengan lama belajar 2 tahun
2)      Madrasah Ibtidaiyyah dengan lama belajar 3 tahun
3)      Madrasah Tsanawiyah dengan lama belajar 3 tahun
4)      Madrasah Mu’allimin Wustha 2 tahun
5)      Madrasah Mu’allimin “Ulya” 3 tahun

Kurikulum yang menjadi acuan pengajaran di Madrasah-madrasah tersebut tampaknya harus menurut ketentuan PBNU bagian pendidikan dan pengajaran atau yang dikenal dengan Ma’rif.
Dalam bidang pendidikan dan pengajaran formal ini NU membentuk satu bagian khusus yang menanganinya, yaitu yang disebut Ma’arif di mana tugasnya adalah untuk membuat perundangan dan program pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan atau sekolah yang berada di bawah naungan NU.
Berdasarkan data tahun 1981, jumlah lembaga pendidikan yang dikelola NU adalah sebagai berikut:
1)      Pondok Pesantren                  3.745 buah
2)      Madrasah                              18.938 buah
3)      Sekolah umum                       3.102 buah
Dari data di atas belum termasuk perguruan tingginya, dan untuk pesantren itupun hanya di pulau Jawa. Sedangkan kondisi sekarang tentu saja NU terus bertambah.

D.    Al-Irsyad
Syekh Ahmad Surkati adalah tokoh utama berdirinya Jam'iyat al-Islah wa Al-Irsyad al-Arabiyah (kemudian berubah menjadi Jam'iyat al-Islah wal Irsyad al-Islamiyyah), atau disingkat dengan nama Al-Irsyad. Banyak ahli sejarah mengakui perannya yang besar dalam pembaharuan pemikiran Islam di Indonesia, namun sayang namanya tak banyak disebut dalam wacana sejarah pergulatan pemikiran Islam di Indonesia.
Sejarawan Deliar Noer menyatakan Ahmad Surkati "memainkan peran penting" sebagai mufti. Sedang sejarawan Belanda G.F. Pijper menyebut dia "seorang pembaharu Islam di Indonesia." Pijper juga menyebut Al-Irsyad sebagai gerakan pembaharuan yang punya kesamaan dengan gerakan reformasi di Mesir, sebagaimana dilakukan Muhammad Abduh dan Rashid Ridha lewat Jam'iyat al-Islah wal Irsyad  (Perhimpunan bagi Reformasi dan Pimpinan).
Sejarawan Abubakar Aceh menyebut Syeikh Ahmad Surkati sebagai pelopor gerakan salaf di Jawa. Howard M. Federspiel menyebut Syekh Ahmad Surkati sebagai "penasehat awal pemikiran Islam fundamental di Indonesia". Dan pendiri Persatuan Islam (Persis), Haji Zamzam dan Muhammad Yunus, oleh Federspiel disebut sebagi sahabat karib Syekh Ahmad Surkati.
Pengakuan terhadap ketokohan Syekh Ahmad Surkati juga datang dari seorang tokoh Persis, A. Hassan. Menurut A. Hassan juga menyebut, pendiri Muhammadiyah H. Ahmad Dahlan dan pendiri Persis Haji Zamzam juga murid-murid Ahmad Surkati.[11]
Al-Irsyad merupakan madrasah yang tertua dan termasyhur di Jakarta yang didirikan pada tahun 1913 oleh Perhimpunan Al-Irsyad Jakarta dengan tokoh pelopornya Ahmad Syurkati Al-Anshari.
Tujuan perkumpulan Al-Irsyad ini adalah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Al-Irsyad di samping bergerak di bidang pendidikan, juga  bergerak di bidang sosial dan dakwah Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah Rasul secara murni dan konsekuen.
Dalam bidang pendidikan, Al-Irsyad mendirikan madrasah:
1)      Awaliyah, lama belajar 3 tahun (3 kelas)
2)      Ibtidaiyah, lama belajar 4 tahun (4 kelas)
3)      Tajhiziah,  lama belajar 2 tahun (2 kelas)
4)      Mu’allimin, lama belajar 4 tahun (4 kelas)
5)      Takhassus, lama belajar 2 tahun (2 kelas)
Pada tahun 1924 dimulailah usaha perbaikan organisasi sekolah, ketika dikeluarkannya sebuah peraturan di mana hanya anak-anak di bawah umur 10 tahun yang dapat diterima pada kelas satu Sekolah Dasar yang lama belajarnya 5 tahun. Begitu juga pelajar-pelajar dari sekolah guru mempunyai kesempatan untuk praktek atau latihan mengajar. Anak yang lebih dari 10 tahun dapat masuk ke kelas-kelas yang lebih tinggi tergantung pada kemampuan yang diperlihatkannya pada ujian masuk yang dilaksanakan semacam placement test untuk sekarang.
Pemikiran dari organisasi ini banyak diambil dari Muhammad Abduh, salah satunya yaitu dalam bidang pendidikan agama bahwa dalam mendidik seseorang anak hendaklah ditekankan pada bidang tauhid, fiqih dan sejarah.
Dengan tauhid dapat mengembangkan jiwa dan harta tanpa keraguan, dengan fiqih dapat meperbaiki budi pekerti dan batin manusia, dengan sejarah Islam dapat menghidupkan kebenaran dan kejayaan Islam pada masa lalu. Intinya bahwa pendidikan merupakan pembentukan watak, kemauan, dan latihan untuk melaksanakan kewajiban.
Pada prinsipnya Ahmad Surkati mengajak umat Islam kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, dan menentang pendapat yang memutuskan bahwa pintu ijtihad telah tertutup serta mencukupi dengan empat mazhab saja yang dipegang. Hal ini disebabkan hukum Islam terus bekembang sepanjang zaman, sehingga menentang taqlid, yang pada prinsipnya membekukan hukum Islam.
Dewasa ini organisasi Al-Irsyad terus berkembang dan bidang yang menjadi garapannya pun semakin luas, baik bidang pendidikan, kesehatan, dakwah dan sebagainya.[12]




E.     Perserikatan Ulama
Organisasi Islam yang bernama Perserikatan Ulama ini merupakan perwujudan dari lahirnya gerakan-gerakan pembaharuan di Indonesia, hal ini khususnya terjadi di daerah Majalengka, Jawa Barat. Kehadiran Perserikatan Ulama ini adalah inisiatif K.H. Abdul Halim pada tahun 1911.
K.H. Abdul Halim pernah pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah Haji dan sekaligus menimba ilmu pengetahuan, akan tetapi pemikirannya banyak tidak dipengaruhi oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin Al-Afghani, hal ini dapat dibuktikan dengan terlihatnya ia memegang mazhab Syafi’i sampai wafatnya.
Lembaga pendidikan tersebut sudah menerapkan sistem pendidikan yang cukup maju dengan meninggalkan sistem lama yang memakai halaqah. Inilah yang mengilhaminya untuk mengadakan perubahan sistem pendidikan tradisional di daerah asalnya sekembalinya ke tanah air. Di samping itu juga motivasinya adalah untuk membuktikan kepala pihak familinya yang kebanyakan golongan priyayi (politik pendidikan pemerintah kolonial) bahwa dia meskipun dari golongan rakyat biasa mampu melayani masyarakat dengan baik.
Setelah enam bulan sekembalinya dari Tanah Suci Makkah pada tahun 1911 Abdul Halim mendirikan sebuah organisasi yang bernama Hayatul Qulub yang bergerak dalam bidang ekonomi dan pendidikan. Orang-orang yang bergabung di dalamnya kebanyakan dari petani dan pedagang. Di bidang ekonomi pada mulanya organisasi ini bermaksud untuk membantu anggota-anggotanya yang bergerak di bidang perdagangan dalam persaingannya dengan pedagang-pedagang Cina. Sedang di  bidang pendidikan, KH. Abdul Halim mulanya menyelenggarakan pelajaran agama skali seminggu untuk orang-orang dewasa. Umumnya materi yang diberikan adalah pelajaran fiqh dan hadits.
Dalam rangka perbaikan mutu lembaga pendidikannya Abdul Halim berhubungan dengan Jami’at Khair dan Al-Irsyad di Jakarta. Ia juga mewajibkan murid-muridnya pada tingkat yang lebih tinggi untuk memahami bahasa Arab yang kemudian menjadi bahasa pengantar pada kelas-kelas lanjutan.
Organisasi tersebut kemudian diganti namanya menjadi Perserikatan Ulama, yang disahkan secara hukum oleh pemerintah pada tahun 1917 dengan bantuan HOS Cokroaminoto (pimpinan Serikat Islam). Ia disebut juga Perikatan Umat Islam yang pada tahun 1952 difusikan dengan organisasi lainnya Al-Ittahadiyatul Islamiyah menjadi Persatuan Umat Islam (PUI).
Perserikatan Ulama secara resmi meluaskan daerah operasinya ke seluruh Jawa dan Madura mulai tahun 1924 dan pada tahun 1937 lebih jauh lagi ke seluruh Indonesia. Kemudian pada tahun 1932 dalam suatu Kongres Perserikatan Ulama di Majalengka Abdul Halim mengusulkan agar didirikan sebuah lembaga pendidikan yang akan melengkapi pelajar-pelajarnya bukan saja dengan berbagai cabang ilmu pengetahuan agama dan ilmu pengetahuan umum, tetapi juga kelengkapsan-kelengkapsan berupa pengembangan profesi dan keterampilan seperti pekerjaan tangan, perdagangan dan pertanian, tergantung pada bakat maing-masing yang bersangkutan.[13]
F.      Persatuan Islam (Persis)
Didirikan secara resmi pada tanggal 12 September1923 di Bandung oleh sekelompok orang Islam yang berminat dalam studi dan aktivitas keagamaan yang dipimpin oleh Zamzam dan Muhammad Yunus.
Persis memberikan perhatian besar dalam bidang pendidikan. Persis mendirikan sebuah madarasah yang pada awalnya dimaksudkan untuk anak-anak anggota persis. Akan tetapi kemudian madrasah ini diluaskan untuk menerima anak-anak lain.[14]
Di samping menyelenggarakan pendidikan Islam berupa madrasah atau sekolah lain, Persis juga mendirikan sebuah pesantren. Pesantren Persis didirikan di Bandung tanggal 1 Dzulhijjah 1354 H bertepatan dengan Maret 1936. Pesantren ini dipimpin oleh A. Hasan sebagai kepala dan Muhammad Nasir sebagai Penasehat dan Guru.
Tujuan pendidikan pesantren ini untuk mengeluarkan mubalig-mubalig yang sanggup menyiarkan, mengajar, membela dan mengajarkan agama Islam. Dengan demikian, diharapkan terbentuknya kader-kader yang punya kemauan keras untuk melakukan dakwah Islamiyah.
Namun demikian, pada tahun 1988 terjadi perubahan yang cukup mendasar dalam sistem pendidikan Persis, yakni ketika pimpinan pesantren Persis secara kelembagaan mengizinkan para santri untuk mengikuti ujian negara dalam bentuk evaluasi belajar tahap akhir persamaan. Hal ini belaku bagi siswa yang merampungkan studinya di tingkat Tsanawiyah maupun tingkat muallimin. Hal ini merupakan langkah besar bagi Persis karena pada masa kepemimpinan sebelumnya di bawah pimpinan KH. Abdurrahman, para santri dan siswa di lingkungan persis tidak diperbolehkan mengikuti ujian negara yang salah satu tujuan utamanya mendapatkan ijazah negeri. Dalam perspektif Kyai, hal ini akan mempengaruhi visi dan orientasi para siswa di didik di lingkungan Persis untuk menjadi ulama menjadi cenderung pragmatis seperti pegawai negeri.[15]

G.    Al-Washliyah
Al-Jami’atul Washiliyah didirikan di Medan pada tanggal 30 November 1930 bertepatan dengan tanggal 9 Rajab 1249 H oleh para pelajar-pelajar dan guru-guru Maktab Islamiyah Tapanuli. Maktab Islamiyah Tapanuli. ini adalah sebuah madrasah yang didirikan di Medan pada tanggal 19 Mei 1913 oleh masyarakat Tapanuli dan merupakan madrasah yang tertua di Medan.
Sebagai pengurus yang pertama pada organisasi ini adalah Isma’il Banda sebagai ketua I, A Rahman Syihab ketua II dan sebagai penasihatnya adalah Syeikh H.M. Yunus.
Al-Washiliyah adalah sebuah organisasi yang berasaskan Islam, yang dalam fiqh memakai mazhab Syafi’i serta dalam hal i’tiqad adalah Ahulussunah Waljama’ah al-Washiliyah bergerak dalam bidang pendidikan, sosial dan keagamaan.
Al-Washiliyah menyelenggarakan pendidikannya dengan susunan sebagai bersikut:
1)      Madrasah Ibtidaiyyah 6 tahun
2)      Madrasah Tsanawiyah 3 tahun
3)      Madrasah Qimul Ali 3 tahun
4)      Madrasah Mualimun 3 tahun
5)      PGA
6)      Madrasah Al-Washiliyah 6 tahun
7)      SMP Al-Washiliyah 6 tahun
8)      SMA Al-Washiliyah 6 tahun
Untuk lembaga pendidikan sekolah dasar sampai SMA materi pelajarannya adalah 70 % umum 30 % agama. Pada tahun 1958 Al-Washiliyah telah mampu mendirikan Perguruan Tinggi Agam Islam (PTAI) di Medan dan Jakarta. Di Medan kemudian menjadi Universitas dan mempunyai cabang, seperti Sibolga, Kebun Jahe, Rantau Prapat, Lansa (Aceh) bahkan sampai ke Kalimantan tepatnya di Barabai Kalimantan Selatan yang sekarang bernama Al-Washiliyah Barabai.









BAB III
KESIMPULAN

Pendidikan Islam, atas peran dan fungsi organisasi beragama yang lahir untuk membimikan ajaran Islam di tengah-tengah masyarakat muslim pada khususnya. Kondisi Pendidikan Islam pada masa penjajahan cukup banyak mendapat tekanan dari pihak penjajah namun dengan semangat jiwa patriotisme dan semangat jihad di jalan Allah yang dimiliki oleh para pejuang Islam mampu melawan penjajah dengan berbagai cara termasuk penyelenggaraan pendidikan Islam sesuai dengan organisasi keagamaan yang telah dibentuk masing-masing tokoh pendidikan tersebut.
Latar belakang munculnya pendidikan Islam di Indonesia akibat adanya desakan penjajah untuk membatasi gerakan keagamaan dalam bidang pendidikan, di samping itu juga munculnya gerakan pembaharuan pemikiran keagamaan dari tokoh Islam.
Pendidikan Islam sesudah merdeka mendapat perhatian dari Pemerintah terbukti dari segi kualitas dan kuantitas pendidikan, dalam sarana penunjang keberhasilan pendidikan.







DAFTAR PUSTAKA

Asrohah, Harun. 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hasan, M. Ali dan Mukti Ali. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya.
Hasbullah, Drs. 2001. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
http://www.republika.co.id/berita/republika-tv/ummat/10/01/25/102195-jamiat-kheir-perlawanan-melalui-pendidikan, Kamis 6 Oktober 2011, jam 16:15 wib.
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah, kamis 6 september 2011, jam 16:24 wib.
http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-kh-hasyim-asyari-perintis.html, kamis 6 oktober 2011, jam 16:34 wib.
http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=42, kamis 6 oktober 2011, jam 16: 32 wib.
Saleh, Abdul Rahman. 2006. Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa Visi, Misi, dan Aksi. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Suwendi, M.Ag. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 92.
Yuzar, Muhammad, Drs. M.Pd. dkk. 2009. Sejarah. Pekanbaru: Amara.


[1]Hanun Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,  (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1992), hlm. 143.
[2]Drs. Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 92.
[3]http://www.republika.co.id/berita/republika-tv/ummat/10/01/25/102195-jamiat-kheir-perlawanan-melalui-pendidikan, Kamis 6 Oktober 2011, jam 16:15 wib.
[4]Suwendi, M.Ag. Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004), hlm. 92.
[5]Loc.Cit. Drs. Hasbullah, hlm. 94-95.
[6]http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammadiyah, kamis 6 september 2011, jam 16:24 wib.
[7]Drs. Muhammad Yuzar, M.Pd. dkk. Sejarah, (Pekanbaru: Amara, 2009), hlm. 76.
[8]Abdul Rahman Saleh, Madrasah dan Pendidikan Anak Bangsa Visi, Misi, dan Aksi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.19.
[9]http://gudang-biografi.blogspot.com/2010/05/biografi-kh-hasyim-asyari-perintis.html, kamis 6 oktober 2011, jam 16:34 wib.
[10]Op.Cit. Suwendi, M.Ag. hlm. 104.
[11]http://alirsyad.net/index.php?option=com_content&task=view&id=25&Itemid=42, kamis 6 oktober 2011, jam 16: 32 wib.
[12]Loc.Cit. Drs. Hasbullah, hlm. 113-117.
[13]Ibid. hlm. 117-120.
[14]Ibid. hlm. 121.
[15] M.Ali Hasan, Mukti Ali. Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 2003), Hlm. 9-27.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar