KATA PENGANTAR
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ
الرَّحِيْمِ
Segala Puji kami ucapkan atas
kehadirat Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya kepada kita semua, yaitu
indahnya nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini, yang
berjudul "Pembaharuan
Pemikiran Hukum Islam Pasca Kejumudan dan Realisasi Hukum Islam".
Tidak lupa pula shalawat beriring salam kita haturkan kepada Nabi Besar
Muhammad SAW serta para sahabatnya yang telah membawa kita pada alam dunia yang
penuh dengan ilmu pengetahuan yang kita rasakan saat ini.
Ucapan terima kasih kami ucapkan
kepada semua pihak yang telah berperan membantu kami dalam penyusunan makalah
ini, demi tercapainya sebuah kesempurnaan. Namun kami menyadari bahwa makalah
yang telah kami susun ini tidak terlepas dari kekurangan. Oleh karena itu
kritik dan saran dari para pembaca kami harapkan dari makalah ini selanjutnya.
Kami mengharapkan agar makalah yang
kamim susun ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Tembilahan, Oktober 2011
Penulis
PEMBAHASAN
Pembaharuan
Pemikiran Hukum Islam Pasca Kejumudan dan Realisasi Hukum Islam
A. Pengertian Pembaharuan Hukum Islam
Pembaharuan atau lebih populer dikenal dengan nama modernisasi,
dalam Barat mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk merubah faham-faham
adat istiadat, institusi-institusi lama dan untuk disesuaikan dengan suasana
baru yang ditimbulkn oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.[1]
Gerakan pembaharuan ini terjadi di beberapa wilayah. Diantaranya
adalah Mesir, Turki, India dan Pakistan. Akan tetapi yang pertama adaah di
Mesir. Berwal dari Kepergian tentara Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir
(1801), yang kemudian dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk mengambil alih
pemerintahan Mesir. Selanjutnya berbagai gerakan-gerakan pembaharuan yang
dimulai dari menerjemahkan beberapa buku dari Barat dan mengirimkan beberapa
pelajar ke Barat. Memotivasi beberapa pemikir islam dari daerah lain untuk
memulai pembaharuan.
Beberapa diantaranya adalah, jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M),
beserta muridnya Muhammad Abduh (1849-1905 M), Muhammad Rasyid Ridha (1849-1905
M).[2] Periodesasi
pembaharuan hukum islam ini kemudian melahirkan beberapa aliran-aliran. Seperti
mazhab tradisionalis, liberalisme sskpitualisme, dan sebagainya.
B. Mazhab Liberalisme
1.
Definisi Mazhab
Liberalisme
Kata liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti
bersifat bebas atau berpandangan luas dan isme yang berarti suatu faham.
Dalam kamus popular dijelaskan bahwa liberalisme adalah suatu faham yang
memperjuangkan kebebasan individu (warga negara) atau partikelir
seluas-luasnya.[3]
Jadi, tujuan utama pendekatan kaum liberalis adalah memahami wahyu
secara teks dan konteks. Hubungan antara teks wahyu dalam masyarakat modern
tidak tergantung pada suatu penafsiran secara literalis tetapi lebih kepada
penafsiran terhadap semangat dan tujuan yang ada di balik bahasa khusus dari
teks-teks wahyu. Aliran ini tak lagi terikat dengan bunyi teks, tapi berusaha
menangkap menurutnya, makna hakiki dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh
ajaran Islam, tema umum Islam, Maqashid Syari'ah dan sebagainya.[4]
2.
Sejarah Mazhab
Liberalisme
Islam liberal muncul diantara gerakan-gerakan revivalis pada abad
ke-18, masa yang subur bagi perdebatan keislaman. Secara politis, saat itu
dinasti-dinasti besar islam di lembah sungai Mediterania (Kerajaan Turki
Utsmani). Asia barat Daya (Dinasti Safawi), dan asia Selatan (Dinasti Mongol)
berada pada masa-masa reruntuh.
Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada mazhab ahl-al-ra’y di
kalangan para sahabat Nabi. Fiqih al-ra’y sebenarnya sejajar denagn tafsir
al-Qur’an bi al dirayah, tapi kaum liberalis modern justru mengambil
sejarah ijtihad bi al-ra’y.[5]
3.
Pokok-Pokok
Pemikiran Madzhab Liberalisme.
Charles Kurzman, di dalam bukunya Liberal Islam, A Sourcebook,
menyebut enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran
Islam dapat disebut "Liberal" yaitu: (1). melawan teokrasi, yaitu
ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam; (2). mendukung gagasan demokrasi;
(3). membela hak-hak perempuan; (4) membela hak-hak non-Muslim; (5) membela
kebebasan berpikir; (6) membela gagasan kemajuan. Siapapun saja, menurut
Kurzman, yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah
seorang Islam Liberal.
Secara ringkas pokok-pokok mazhab liberalisme adalah Pertama,
kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap al-Qur'an dan menggantinya
dengan pemahaman berdasarkan semangat dan jiwa al-Qur'an. Kedua,
mengambil sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri’al-ahkam dan memberikan
keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik dan pelaksanaan
masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita harus mengganti pendekatan
ta'abbudi terhadap nash-nash dengan pendekatan ta'aqquli. Keempat,
melepaskan diri dari masalikul'illah lama dan mengembangkan perumusan 'illat
hukum yang baru.[6]
C. Mazhab Skriptualisme
1.
Definisi
Skripturalisme
Adalah suatu mazhab
yang merupakan kebalikan dari liberal, yaitu suatu mazhab yang bepegang kepada
teks-teks syari’at secara kaku. Oleh Arkoun aliran ini disebut logosentrisme.
Amin Abdullah mengatakan bahwa paradigma yang diangkat kaum skrpturalisme ini
adalah paradigma literalistic dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang
teks berbahasa arab, baik grammar maupun sintaksinya dan mengabaikan pembahasan
tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks literal.
2.
Latar Belakang
Skripturalisme
Seperti diketahui
dalam fiqh tabi'in, ada dua aliran besar dalam fiqh Islam: ahl al-Ra'y dan ahl
al-Hadits. Yang pertama menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Dan yang
kedua berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak penggunaan rasio.
Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua ekstrim itu. Yang paling dekat
dengan ahl al-ra'y adalah madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl
al-hadits adalah mazhab Hanbali.
Imam Ahmad ibn
Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam musnadnya, memang lebih terkenal
sebagai ahli hadits dari pada ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di
antara muhadditsin dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh.
Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada hadits Rasulullah saw
(meski lemah), fatwa para sahabat, dan menolak qiyas kecuali dalam keadaan
terpaksa. Jadi fiqhnya selalu merujuk pada nash-nash al-Qur'an atau hadits.
Karena itu, tugas
ahli fiqh hanyalah mencari nash yang relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama
sekali pada Daud al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak
ta'wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah memperkuat gerakan
anti rasionalisme ini dengan menolak setiap
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur'an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks al-Qur'an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.
3.
Kegagalan
Skripturalisme
Keyakinan bahwa
kesetiaan pada teks al-Qur'an dan hadits cukup untuk memecahkan persoalan
ternyata hanya simplikasi. Ada beberapa kegagalan skripturalisme.tiga
diantaranya adalah, Pertama, dalam aqidah. Karena skriptualisme menerima
teks-teks al-Qur'an dan hadits dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan
percaya bahwa ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk di
atas 'arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta'wil, mereka telah
mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja dijauhi, tetapi juga
dikafirkan. Wacana teologi menjadi gersang.
Kedua, skriptualisme
menyingkirkan pengalaman mistikal dari kehidupan beragama. Kaum sufi, yang
mencoba menangkap makna batiniyah dari nash-nash, dianggap
sesat.Praktek-praktek keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam
nash, dianggap bid'ah. Selanjutnya, yang disebut bid'ah adalah apa saja yang
tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya
Ketiga,
skripturalisme, karena menolak wacana intelektual, mudah mendorong orang ke
arah fanatisme. Madzhab yang lain akan dianggap menyimpang dari al-Qur'an dan
sunnah. Dalam skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang
wawasannya sempit, tapi merasa faqih.
Akibat kegagalan
skripturalisme tersebut, orang tidak memberikan solusi terhadap segala
kemusykilan ini. Tulisan ini hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya
penilaian kritis terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada gilirannya,
liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai problem. Melalui studi kritis
terhadap keduanya, kita dapat merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan
fiqh yang lebih relevan dan signifikan.[7]
D. Filosofi Pembaharuan Hukum Islam
Hukum islam merupakan salah satu ruang ekspresi pengalaman agama
yang penting dalam ranah kehidupan seorang muslim. Joseph Schach mengatakan “
Hukum Islam adalah ikhtisar pemikiran manifestasi paling tipikal dari cara
hidup Muslim, dan meupakan inti dan saripati Islam itu sendiri”.
Studi Hukum islam merupakan cabang ilmu tertua, dimana Sistemasi
Hukum Islam tersebut menjadi suatu kumpulan masalah dan subyek kajian. Pertama
pada masa Tabi’in, pada masa ini kajian-kajian tersebut terfokus pada
pendekatan atomistik dan tekstual. Kedua, pada masa asy-Syafi’I (w.
204/802). Pada masa ini dimulai penegmbangan ilmu syai’ah sesungguhnya, dimana
pada masa ini asy-Syafi’I menggarap metodologi hukum islam dalam karyanya ar-Risalah.
Selanjutnya pada periode yang ketiga adalah al-Ghazali (w.
505/1111) pada zaman pertengahan yang dicatat sebagai orang yang telah
melakukan upaya pengembangan ilmu hukum islam sumbangan pokok Al-Ghozali
diantaranya adalah, (1) memeperkenalkan dan memepertegas penerapan metode
induksi dalam kajian hukum islam, dimana sebelumnya ijtihad hukum lebih besifat
deduktif; dan (2) mengintrodusir konsep tujuan hukum (maqasid asy-syari’ah)dan
salah satu tujuan hukum itu adalah maslahat.
Konsep al-Ghozali ini selanjutnya diartikulasikan pada periode keempat
oleh as-Syatibi (w.790/1388) yang menawarkan pendekatan integralistik
sebagai altenatif tehadap pendekatan atomistik sebelumnya. Akan tetapi
kehadiran asy-Syatibi sama sekali tidak menghapus pardigma liteal, tapi ingin
lebih melengkapinya agar ilmu dapat lebih sempurna memahami Allah.
Dengan demikian, dlam perspektif filsafat ilmu, asy-Syatibi
sebenarnya tidak melakukan apa yang menurut Thomas Kuhn disebut dengan
pergeseran paradigma (paradigma shift), tapi hanya lebih melengkapi
paradigma lama dengan tidak telalu litealistik.
Pada awal zaman modern islam, yaitu pada abad ke-8H/14M tampil
Muhammad Abduh (w,1905) yang merekonstruksi kembali pemikiran hukum islam
dengan cara menghidupkan kembali semangat rasionalisme seperti pada zaman klaik
yang diajukan oleh Muktazilah.
Perjalanan perkembangan dan pembaharuan hukum islam terus
berlanjut, hingga pada abad ke-20 semakin banyak upaya yang dilakukan oleh para
pemikir hukum islam baik yang dilakukan oleh sarjana-sarjan Muslim maupun
sarjana orientalis. Hal ini mengilhami beberapa tokoh orientalis seperti
Goldziler, Joseph Shacht, N.J. dalam melakukan pengembangan kajian hukum islam.
Meskipun kajian-kajian yang mereka lakukan tidak mendapatkan sambutan baik dan
justru mendatangkan beebrapa kritikan pedas.
Salah satu kritikan yang cukup tajam adalah berasal dari Muhammad
Arkoun yang meyoroti masalah perkembangan terbaru ilmu-ilmu social di Eropa.
Khususnya di Perancis. Arkoun menyebutnya sebagai Islamologi Klasik, yaitu
diskursus Barat tentang Islam berdasarkan hukum lebih bersifat deduktif.[8]
Dikalangan islam, para sarjana muslim baik yang hidup di dalam
atau diluar negeri ikut memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan hukum
islam. Bermula dari Fazlur Rahman yang mengemukakan bahwa hukum islam berakar pada
ajaran moral islam dimana hukum adalah interpretasi nilai moral itu untuk
menghadapi situasi kongkret. Disusul oleh an-Na’im yang mengusung Teori
Pesan-nya, sampai Syahrur dengan Teori Batasnya.
Akan tetapi usaha ini belum begitu tampak nyata karena lebih
mengarah pada kegiatan individual dan tidak meupakan gerakan kolektif yang
merupakan suatu mazhab. Di lain fihak tampillah al- Faruqi (w. 1986) yang
memotori gerakan actual-kolektif dan ada akhirnya disebut sebagia suatu mazhab.
Pemikiranya adalah tentang Islamisasi pengetahuan dimana penekanannya pada
gerakan penyeimbangan antara wahyu dan akal (termasuk pengalamna) sebagai
sumber pengetahuan islam.[9]
KESIMPULAN
Hukum Islam mengalami priode
perkembangan-perkembangan yang salah satunya adalah disebut dengan Priode
Kebangkitan yang dimulai pada bagian kedua abad ke 19 sampai dengan saat ini,
dengan tokoh sentralnya adalah Jalaluddin Al-Afgani (1839-1897) dan Muhammad
Abduh (1849-1905). Pikiran-pikiran kedua tokoh ini
sangat dipengaruhi oleh Pemikiran Ibnu Taimiyah (1263-1328).
Gerakan
pembaharuan ini terjadi di beberapa wilayah. Diantaranya adalah Mesir, Turki,
India dan Pakistan. Akan tetapi yang pertama adaah di Mesir. Berwal dari
Kepergian tentara Napoleon Bonaparte meninggalkan Mesir (1801), yang kemudian
dimanfaatkan oleh Muhammad Ali untuk mengambil alih pemerintahan Mesir.
Selanjutnya berbagai gerakan-gerakan pembaharuan yang dimulai dari
menerjemahkan beberapa buku dari Barat dan mengirimkan beberapa pelajar ke
Barat. Memotivasi beberapa pemikir islam dari daerah lain untuk memulai
pembaharuan. Periodesasi pembaharuan hukum islam ini kemudian melahirkan
beberapa aliran-aliran. Seperti mazhab tradisionalis, liberalisme
sskpitualisme, dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Barry,
M. Dahlan. Y. dan Yacub, L. Lya Sofyan.
2003. 2003. Kamus Induk Istilah Ilmiah. Surabaya: Target Press.
Abdullah,
Amin H. M. 2002. Al Mazhab Jogja Menggagas Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer.
Djogjakarta: Arr-Ruzz.
http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/SejarahFiqh06.html.
kamis 13 oktober 2011, jam 20:10 wib.
http://www.al-ahkam.net/forum09/viewtopic.php?f=35&t=27853. kamis 13 oktober
2011, jam 20:15 wib.
Nasution, Harun.
2001. Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. Jakarta:
Bulan Bintang.
Qodir, Abdul, M.Ag.
2005. Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung:
CV Pustaka Setia.
Rahmat,
Jalaluddin. 2007. Dahulukan Akhlak di atas Fiqh. Bandung: Mizan dan
Muthahari Press.
[1]Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta:
Bulan Bintang, 2001), hlm. 11.
[2]Abdul
Qodir, M.Ag. Jejak Langkah Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung:
Pustaka Setia, 2005), hlm. 27.
[3]M.Dahlan. Y. Al-Barry dan L. Lya Sofyan Yacub, Kamus
Induk Istilah Ilmiah, ( Surabaya:Target Press 2003), hlm. 457.
[4]http://media.isnet.org/islam/Paramadina/Konteks/SejarahFiqh06.html.
kamis 13 oktober 2011, jam 20:10 wib.
[5]Jalaluddin Rahmat, Dahulukan Akhlak di atas Fiqh,
(Bandung: Mizan dan Muthahari Press, 2007), hlm. 211.
[6]http://www.al-ahkam.net/forum09/viewtopic.php?f=35&t=27853. kamis 13 oktober 2011, jam 20:15 wib.
[8]H.M.Amin Abdullah, Al Mazhab Jogja Menggagas
Paradigma Ushul Fiqh Kontemporer, (Djogjakarta:Arr-Ruzz 2002), hlm. 149.
[9]Ibid.